KH. Rais Latief Tokoh Ulama Lampung Barat yang Terlupakan - Radarlambar.com | Radar Lambar - Radar Pesbar
>blank
KH. Rais Latief Tokoh Ulama Lampung Barat yang Terlupakan

KH. Rais Latief Tokoh Ulama Lampung Barat yang Terlupakan

Share This
“Entah apa yang memberanikan saya menulis tiga kisah singkat tentang ayahnda (Abuya KH. Rais Latief) disela tadabbur al Quran di hari ke empat Itiqaf. Sebenarnya sudah lama diminta tulisan ini, namun saya berat karena takut terkontaminasi ria. Bagi minak muari, kilu mahap sekendua kik wat sai salah tulis. Niatni ingkah nyin jadi inspirasi, lain hak haga ngilu tipuji apilagi nyin tihargai. Kintu ngilu duako Aba dan guru-guru khususni sai radu turuk mencerdaskan ram sang muari ramik. (Bagi sanak saudara, mohon maaf jika ada salah dalam tulisan, niat hanya ingin ingin menjadi inspirasi, bukan untuk meminta dipuji apalagi dihargai. Cuma meminta doa agar ayahnda dan guru-guru khususnya yang sudah mencerdaskan kita semua),” tulis H. Sazli Rais dan H. Hasanen Rais, putra dari KH Rais Latief dalam rilise yang diterima Radarlambar.com.

‘TOKOH Ulama yang Terlupakan’.... Iya, kali ini Radarlambar.com akan mengulas tentang salah seorang tokoh agama dari Bumi Beguai Jejama Sai Betik Lampung Barat, yang namanya mungkin banyak tidak diketahui sebagian besar masyarakat.

Beliau adalah KH Rais Latief yang lahir pada tahun 1900-an di Gedung Asin, Liwa, saat ini merupakan Pekon Sebarus Kecamatan Balikbukit, atau satu kilometer dari pusat kota Liwa memiliki pengaruh besar dalam mengembangkan tradisi intelektual muslim, bahkan mungkin satu-satunya tokoh muslim asal Lampung Barat lulusan luar negeri, yakni Kairo Mesir, Mekkah (arab saudi), tidak hanya itu KH Rais Latief pernah mengajar di madrasah Sultan Singapura (kini di kompleks masjid Sultan di Arab Street Singapura).

Dikutip dari berbagai sumber, setelah menyelesaikan sekolah rakyat di Liwa, Rais muda melanjutkan pendidikan ke sekolah agama Thawalib di Padang Panjang. Karena ketiadaan biaya, mereka kemudian kembali ke kampung membantu sang ayah berdagang kopi dan hasil bumi lain.

Setelah memiliki cukup biaya transportasi, berangkatlah Rais menuju Kairo melanjutkan pendidikan dan tujuh tahun bermukim di sana. Selesai sekolah di Kairo, berangkat Rais ke Mekah memperdalam ilmu hadis. Di Mekah bermukim empat tahun sebelum akhirnya kembali ke Tanah Air. Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, Rais singgah di Singapura, dan mengajar di madrasah Sultan (kini di kompleks masjid Sultan di Arab Street Singapura).

Sepulang mengajar dari Negeri Singa, Rais langsung kembali ke Tanah Air di Batavia (Betawi). Bersama-sama dengan alumnus dari Kairo seperti H. Sulaiman Rasyid (almarhum pengarah buku fikih berbahasa Indonesia yang pertama)--kebetulan berasal dari kampung yang sama--lalu mendirikan sekolah Mualimin di Gang Sentiong Batavia. Sekolah ini terkenal pada masanya dan mampu bersaing dengan sekolah setara yang dipimpin para pastor bangsa asing saat itu.

Menjelang Perang Dunia II, Rais kembali ke Lampung dan mengabdi di tanah tercinta. Pada masa tersebut, dia mendirikan sekolah di Talangparis, daerah Liwa, dekat Bukit Kemuning kini. Salah satu muridnya K.H. Arief Mahya (diakui beliau dalam autobiografinya). Kemudian Rais mengajar di Wustho Mualimin Muhammadiyah di Liwa.

Di sekolah ini diperkenalkan sistem pendidikan modern dengan proses belajar-mengajar yang sangat progresif. Setiap awal hari didahului dengan senam dengan aba-aba menggunakan bahasa Arab sebelum memulai pelajaran. Para siswa diharuskan bercelana panjang dan bersepatu. Jika celana panjang kotor, diperbolehkan berkain dan bersandal. Semua pakaian harus bersih dan rapi. Semua itu amat maju untuk masyarakat kampung saat itu.

Saat mengajar di Whustho Mualimin inilah beliau dijodohkan dengan mantan muridnya, gadis sedesa. Setelah perang usai, keinginan kembali berkarya di Batavia kembali muncul. Pada 1949, setelah semua pegawai berkebangsaan Belanda kembali ke negerinya, Pemerintah RI yang masih muda membutuhkan banyak tenaga terdidik mengisi lowongan di semua jawatan (kini namanya departemen).

Pada 1950 diterima surat panggilan (kawat) untuk datang ke Jakarta mengisi lowongan di Jawatan Penerangan Agama yang kemudian menjadi Departemen Agama. Jawatan Penerangan Agama ini yang kemudian membenahi pendidikan agama di seluruh tingkatan sekolah. Karena banyak alumnus sekolah agama seperti pesantren tidak dilengkapi ijazah, diambil kebijakan melakukan ujian persamaan (ujian guru agama atau UGA) bagi mengisi lowongan guru agama di SD, SMP, dan SMA.

Seiring dengan itu, didirikan sekolah untuk mendidik guru-guru agama atau SGA (sekolah guru agama). Di bidang penyediaan buku dibentuk tim yang ditugaskan mengadakan buku agama yang berbahasa Indonesia. Ada yang ditugaskan menerjemahkan Alquran, ada pula yang ditugaskan menyusun terjemahan hadis sahih Bukhari; ada yang diminta menyusun fikih Islam (almarhum H. Sulaiman Rasyid); dan ada yang diminta menyusun terjemahan hadis sahih Muslim, yakni H. Rais Latief bersama dengan H. Abdul Razak (asal Kotabumi).

Buku-buku tersebut merupakan cikal-bakal buku-buku agama berbahasa Indonesia karya anak bangsa kemudian hari. Buku tersebut sangat populer beredar dan dicetak berulang-ulang di Malaysia dan Singapura.

Sekitar 1962 setelah pensiun sebagai pegawai tinggi Departemen Agama, ketimbang mengajar di perguruan tinggi agama Islam di Jakarta, beliau memilih pulang ke Lampung. Di Lampung Rais kembali memimpin Sekolah Tsanawiah Muhammadiyah Pekon Tengah Sebarus.

Sekolah ini sampai kelas IV. Karena tidak ada aliah di Liwa, para alumnusnya melanjutkan di kota-kota lain seperti Yogya. Dengan kualitas memadai, lulusan tsanawiah ini bisa diterima di kelas II aliah atau SMA di Yogya.


Rais tetap mengajar sampai berusia 70 tahun. Beliau wafat pada usia 77 tahun dan dikebumikan di Desa Sebarus Liwa di dekat tempatnya mengajar dan di tengah masyarakat yang begitu dicintainya.


Berikut Kisah Dibalik Cerita yang Ditulis oleh H. Sazli Rais dan H. Hasanen Rais, putra dari KH Rais Latief yang diterima radarlambar.com.


Tabek

 Kisah di balik cerita I

“Daa ijapai niku. Ajo wat kelapa rua, petisa ram. Sai bammu, sai lagi dinnya” (saudaraku, ini ada kepala dua, satu untukmu satu untukku).

Api bunyini ajo, Udo Aji ? (Ini apa bunyinya ‘Udo aji’ panggilan kepada kakak laki-laki yang telah berhaji)

Sinji dia upah ram bulan sinji. Petisa ram kelapa. (Ini Upah Untuk Kita, Kita berbagi kepala)
Payu Udo Aji. (Iya Udo Aji)

Itulah dialog seorang Guru (Aba H. Rais Latief) dengan asistennya yang merupakan anak muda muridnya yang terbaik yakni Mahbubillah. Mereka berdua membuka Sekolah di tengah umbul (talang) sebuah daerah di Kecamatan Kebuntebu yang dihuni oleh orang Sebarus yang membuka ladang disana. Cuma satu motive mereka yakni mencerdaskan saudara-saudaranya. Bukan Besluit atau SK PNS karena Republik ini belum lahir. Bukan juga materi, karena Sekolah darurat mereka untuk anak-anak petani miskin. Uang Sekolah berupa hasil pertanian yang dijual untuk membeli kapur dan sisanya merupakan upah.

Seperti yang diceritakan oleh sang Asisten (Mahbubillah), semoga amal sholeh beliau diterima Allah, aamiin) di sudut rumah Perumnas Way Halim.


Kisah di balik cerita II

Suatu hari Mak Hayuna di Bukit Duri kedatangan tamu, KH. Arif Mahya, mantan Sekda Provinsi Lampung, diantar oleh putranya adinda Andi Arif yang kala itu masih menjadi Pembantu Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono . Beliau sengaja datang dari Bandar Lampung ke Jakarta untuk mengantar buku Autobiography sebagai hadiah untuk mantan gurunya Aba KH. Rais Latief yang disebut dalam buku tersebut.

“Kik lain uleh ni Udo Aji tian, makdia sekam kuk jadi jelma. Tian sai ngajar sekam, sanak umbul. Makdacok kulupako jasani Udo Aji, (kalau bukan karena udo aji (KH. Rais Latief) kami tidak menjadi orang seperti sekarang, mereka yang mengajari kami, kami tidak bisa lupa jasa beliau).
Seperti yang diceritakan oleh almarhum ibunda Hayuna.

Kisah di balik cerita III

“Suatu siang saya mampir mengobrol dengan Mak (Allahyarham Hayuna) di Bukit Duri. Saya bertanya, kenapa Aba dan Mak pindah ke Liwa dari Jakarta selepas pensiun dari PNS. Apa yang dikejar di Liwa? Padahal saya masih klas 5 SD dan adinda Jasmin klas 2 SD, ditinggal di Jakarta bersama Udo dan Udongah di bawah asuhan Ajjong.

Kisah dimulai tahun 1950 ketika Indonesia mulai berdaulat selepas Belanda angkat kaki tahun 1949. Namun sebagai infant country, negeri ini belum punya pegawai, belum punya departemen. Maka tahun 1950 dibentuklah Jawatan-juwatan untuk menjalankan Republik ini. Jawatan-juwatan tersebut cikal bakal Departemen yang ada sekarang”.

“Aba H. Rais Latief memperoleh kawat (panggilan melalui POS) untuk segera ke Jakarta membangun Jawatan Pendidikan dan Penerangan Agama (?) sebagai cikal bakal Departmen Agama.
Kala itu beliau guru Sekolah Muhammadiyah di Liwa. Sehingga kepindahan beliau sangat dikhawatirkan akan mengganggu kelangsungan jalannya Sekolah. Namun karena hal ini kepentingan negara, maka beliau tetap berangkat dan berjanji akan kembali mengajar di Liwa segera setelah pensiun.

Janji tersebut yang kemudian membawa beliau kembali ke Liwa untuk membangun kembali Sekolah yang terlanjur bubar. Padahal orang-orang  yang tempat dia berjanji mungkin sudah tidak ada. Namun semangat mencerdaskan saudara-saudara membuatnya mulang pekon menitipkan empat anaknya dibawah asuhan mertuanya untuk tetap sekolah di Jakarta”.

Catatan:
Konon masyarakat kemudian patungan membangun kembali Sekolah tersebut yang dikenal sebagai Tsanawiyah Muhammadiyah (sekarang lokasinya di TK Aisyiah Sebarus). (Nopriadi/Haris Tiawan)










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad