Pembagian Kewenangan Pejabat Pengelola APBN - Radarlambar.com | Radar Lambar - Radar Pesbar
>blank
Pembagian Kewenangan Pejabat Pengelola APBN

Pembagian Kewenangan Pejabat Pengelola APBN

Share This
(oleh Dani Ramdani, SE, LL. M – Kepala KPPN Liwa)

Pada SEKURA edisi sebelumnya telah dibahas mengenai pendapatan dan belanja pemerintah dan bagaimana pemerintah membelanjakan serta  membiayai belanja tersebut. Pada edisi kali ini, akan dijelaskan para pejabat yang mengelola APBN pada setiap satuan kerja. Semoga bermanfaat

Konstruksi Dasar Pembagian Kewenangan

Konstitusi negara kita telah merumuskan  bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Salah satu kekuasaan pemerintahan tersebut adalah Kekuasaan dalam pengelolaan keuangan negara. Berlatar belakang pemikiran inilah maka UU Keuangan Negara merumuskan bahwa ‘kekuasaan pengelolaan keuangan negara berada di tangan Presiden’.

Dalam melaksanakan kewenangan tersebut, Presiden mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada para Menteri sebagai pembantunya sesuai dengan peran masing-masing. Peran tersebut adalah sebagai Chief Financial Officer (CFO) yang secara eksklusif didelegasikan kepada Menteri Keuangan, di satu sisi, dan di sisi lainnya sebagai Chief Operation Officer (COO), kepada para menteri lainnya.

Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa peran Menteri Keuangan sebagai CFO merupakan peran sebagai manajer keuangan bagi seluruh kementerian/lembaga. Sedangkan sebagai COO, pada hakekatnya, setiap menteri adalah manajer keuangan hanya dalam lingkup kementeriannya saja  dan sebagai Pengguna Anggaran (PA) yang bertanggungjawab atas  keberhasilan program yang telah disusun dan ditetapkan dalam kementrian masing-masing.

Tujuan Pembagian Kewenangan 

tujuan pembagian kewenangan Menteri Keuangan sebagai CFO dan menteri teknis sebagai COO dimaksudkan untuk menghindarkan terpusatnya kewenangan di satu tangan agar dapat menjamin terciptanya mekanisme check and balance (saling uji) di antara para pihak, yaitu para pejabat pengelola keuangan negara. Selain itu,  hal ini dimaksudkan juga untuk mendorong agar berbagai keputusan yang diambil oleh para pejabat pengelola keuangan, yaitu para Menteri selaku Pengguna Anggaran, selalu didasarkan pada kaidah-kaidah pengelolaan keuangan negara yang telah ditetapkan sebagai acuan, karena keputusan yang telah diambil akan diuji oleh pihak lain, yaitu Menteri Keuangan, selaku Bendahara Umum Negara.

Implementasi Pembagian Kewenangan pada level satuan kerja.

Para menteri tentunya tidak bisa melaksanakan seluruh kewenangan pengelolaan keuangan negara dalam kementeriannya. Maka kemudian para menteri mendelegasikan sebagian kewenangan selaku Pengguna Anggaran di masing-masing kementrian/lembaga kepada para pimpinan satuan kerja (Satker) di lingkungan kementeriannya . Oleh karena itu, setiap Kepala Satker disebut sebagai penerima kuasa dari menteri selaku Penggunan Anggaran, yang untuk selanjutnya disebut sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Jabatan Kuasa Pengguna Anggaran ini  sifatnya ex officio  yang artinya melekat pada jabatan pimpinan satuan kerja. Jadi setiap pimpinan/kepala  satuan kerja secara otomatis secara ex officio menjabat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran.

Pada hakikatnya,  dalam kementrian masing-masing, para menteri memiliki kewenangan layaknya Presiden dalam pengelolaan keuangan negara. Dengan demikian, dalam kementriannya seorang menteri selaku Pengguna Anggaran, memiliki peran BUN dan juga peran Menteri Teknis. Dua peran inilah yang selanjutnya dikuasakan kepada setiap Kepala Satker sebagai KPA.  Oleh sebab itu, sejalan dengan pola di atas, di dalam setiap satker terdapat pemegang peran layaknya BUN yang diperankan oleh Pejabat Penanda tangan SPM (PPSPM) (yang akan melakukan tugas-tugas pengujian/verifikasi), dan juga peran Menteri Teknis (yang melakukan pengambilan keputusan) yang diperankan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Pembagian Tanggungjawab

KPA bertanggungjawab secara formal dan materiil. Tanggung jawab formal artinya bahwa  KPA harus memastikan bahwa pengeluaran atas beban DIPA satkernya secara formal telah didukung dengan dokumen hak tagih  yang lengkap, benar dan sah. Sedangkan tanggung jawab secara materiil berarti bahwa KPA harus dapat memastikan bahwa fisik barang/jasa yang telah sesuai dengan yang diperjanjikan dalam kontrak/bukti perikatan lainnya serta sesuai dengan peruntukannya. Sebagian kewenangan KPA ditugaskan kepada PPK dan PPSPM, dengan demikian sesuai dengan azas dalam Hukum Administrasi Negara – No Authority Without Responsibility- maka terjadi pula peralihan tanggungjawab dari KPA kepada PPK dan PPSPM.

Kewenangan KPA yang dialihkan  kepada PPK diantaranya adalah membuat, menandatangani dan melaksanakan perjanjian dengan Penyedia Barang/Jasa menguji dan menandatangani surat bukti mengenai hak tagih kepada negara.  Dengan kata lain, PPK adalah pejabat yang bertanggungjawab terhadap terjadinya pengeluaran negara, karena berbagai keputusan yang diambilnya akan dapat mengakibatkan terjadinya pengeluaran negara. PPK bertanggung jawab atas kebenaran materiil dan akibat yang timbul dari penggunaan bukti mengenai hak tagih kepada negara.

Untuk menjamin terlaksananya prinsip saling uji (check and balance) sebagai bagian dari tata kelola yang baik (good governance) dalam pengelolaan keuangan negara, keputusan PPK tersebut kemudian diuji secara substantif oleh PPSPM Dalam kaitan ini maka PPSPM bertanggung jawab terhadap kebenaran administrasi, kelengkapan administrasi, dan keabsahan administrasi  dokumen hak tagih pembayaran dan akibat yang timbul dari pengujian yang dilakukan.

Ujung dari seluruh pengujian yang dilakukan oleh PPSPM tersebut adalah terbitnya Surat Perintah Membayar (SPM). Hal ini dilakukan bilamana PPSPM meyakini bahwa pembayaran tersebut memang dapat dilakukan. Keyakinan ini perlu dimiliki oleh PPSPM, karena benteng terakhir terjadinya pengeluaran negara di tingkat kementrian/ lembaga adalah PPSPM.

Dengan demikian, KPA sebagai Kepala Satker, pada hakekatnya hanya memiliki tanggungjawab dan kewenangan yang bersifat manajerial, yaitu agar berbagai program ataupun kegiatan yang berada dalam tanggungjawabnya dan harus dilaksanakan oleh Satkernya dapat dilaksanakan sesuai rencana yang telah ditetapkan. Hal ini terkait dengan peran strukturalnya (formalnya) sebagai kepala satuan kerja yang secara hierarchies membawahi pejabat struktural lainnya yang tingkatannya lebih rendah.

Lalu bagaimana dengan peran dan tanggungjawab Bendahara? Ikuti SEKURA edisi mendatang, semoga bermanfaat. (*)



Dani Ramdani, SE, LL. M – Kepala KPPN Liwa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad